Subscribe:

Kamis, 20 Mei 2010

sejarah Nekeran ( Gundu )

Orang Betawi menyebut kelereng dengan nama gundu. Orang Jawa, neker. Di Sunda, kaleci. Palembang, ekar, di Banjar, kleker.

Sejak abad ke-12, di Prancis, kelereng disebut dengan bille, artinya bola kecil. Lain halnya di Belanda, para Sinyo-Sinyo itu menyebutnya dengan knikkers. Lantas, adakah pengaruh Belanda, khususnya di Jawa, knikkers diserap menjadi nekker? Mengingat, Belanda pernah ‘numpang hidup’ di Indonesia.

Tahun, 1694. Di Inggris ada istilah marbles untuk menyebut kelereng. Marbles sendiri digunakan untuk menyebut kelereng terbuat dari marmer yang didatangkan dari Jerman. Namun, jauh sebelumnya, anak-anak di Inggris telah akrab menyebutnya dengan bowls atau knikkers.
Kelereng populer di Inggris dan negara Eropa lain sejak abad ke-16 hingga 19. Setelah itu baru menyebar ke Amerika. Bahan pembuatnya adalah tanah liat dan diproduksi besar-besaran.

MASA LALU

Jauh pada peradaban Mesir kuno, tahun 3000 SM, kelereng terbuat dari batu atau tanah liat. Kelereng tertua koleksi The British Museum di London berasal dari tahun 2000-1700 SM. Kelereng tersebut ditemukan di Kreta pada situs Minoan of Petsofa.

Pada masa Rowami, permainan Kelereng juga sudah dimainkan secara luas. Bahkan, menjadi salah satu bagian dari festival Saturnalia, yang diadakan saat menjelang perayaaan Natal. Saat itu semua orang saling memberikan sekantung biji-bijian yang berfungsi sebagai kelereng tanda persahabatan.

Salah seorang penggemar kelereng adalah Octavian, kelak menjadi Kaisar Agustus. Layaknya permainan, di Romawi saat itu juga mempunyai aturan-aturan resmi. Peraturan tersebut menjadi dasar permainan sekarang.

Teknologi pembuatan kelereng kaca ditemukan pada 1864 di Jerman. Kelerang yang semula satu warna, menjadi berwarna-warni mirip permen. Teknologi ini segera menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Namun, akibat Perang Dunia II, pengiriman mesin pembuat kelereng itu sempat terhenti dan akhirnya masing-masing negara mengembangkannya sendiri.

Sejarah POS Ronda

Sejarah pos ronda berawal dari pos-pos penjaga di jaman colonial. Ketika itu pos jaga berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya lebih mirip pos pengawasan terhadap pribumi yang melewati daerah tertentu. Hal serupa juga terjadi ketika Jepang berkuasa di Indonesia.

Tapi sejak era kemerdekaan bekas pos-pos penjagaan Belanda atau Jepang diambil alih oleh pribumi. Pengambilalihan itu disertai dengan perubahan fungsi. Bila pada era sebelumnya penguasa kolonial yang mengawasi pribumi, maka sejak era kemerdekaan orang Belanda atau Jepang yang diawasi.
Gardu mengalami perubahan fungsi lagi di era presiden Soeharto berkuasa. Gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Soeharto menerapkan model pertahanan semesta yang berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaaannya dengan dalih Sistem Keamanan Lingkungan (Sisklamling).

Setelah Soeharto lengser pada 1998, gardu-gardu baru muncul ketika Indonesia menghadapi pemilihan umum 1999. Posko-posko Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menandai lahirnya sejarah gardu baru Indonesia sekaligus memberi makna baru.

Posko PDIP didirikan untuk menandai “kandang banteng”. Ketika itu posko PDIP menandai kekuasaan politik Megawati. Selain posko PDIP, biasanya juga didirikan podium. Podium adalah panggung setinggi 3-5 meter yang mengingatkan orang kepada tempat pidato Soekarno. Seperti diketahui, Soekarno adalah ayah Megawati, Ketua Umum PDIP yang pada 1999 sedang berjuang memenangkan pemilihan umum.

Itulah sedikit cerita mengenai sejarah pos ronda beserta fungsinya di Indonesia. Penjelasan dan cerita detailnya tentu ada di buku ini. Nilai lebih buku ini tidak hanya karena temanya yang unik tapi juga karena teknik penyajiannya yang menarik sehingga tidak terasa sedang membaca buku sejarah pada umumnya. Membaca buku ini kita menjadi tahu penggunaan alur sastra dalam penulisan sejarah (historiografi sastrawi).

Historiografi Sastrawi merupakan genre penulisan sejarah yang mengadopsi teknik sastra seperti alur serta bahasa yang longgar seperti yang sering digunakan sastrawan. Tapi sebagaimana historiografi, kelonggaran penulis dibatasi oleh ketersediaan fakta. Dan Abidin patuh pada metode itu.sumber:id.shvoong.com